Senin, 07 Maret 2011

bab 3 konsepsi ilmu buaya dasar dalam kesustraan( tulisan1)

Cerpen pendidikan berkualitas , sangatlah mahal


Robohnya Sekolah Kami

“Gawat, Pak Parno. Gawat!” ujar Pak Hidayat pelan ketika jam istirahat.
“Apanya yang gawat, Pak!” kataku tenang. Aku tidak mau terbawa arus gosip. Aku hanya ingin mengajar dengan baik. Anak-anak dapat menguasai materi yang kuberikan dan mendapatkan nilai-nilai didik dari materi itu. Itu tugasku. Aku tak mau terlalu ikut campur dalam masalah manajemen sekolah.
“Wah, semua sudah keblinger, Pak. Sekolah ini sudah terlalu mengarah ke bisnis. Ingat, siswa-siswi kita itu dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Jadi kalau sampai anak-anak ditarik uang insidental setinggi itu, apa ya ndak kasihan. Apalagi prosedurnya menyalahi aturan,” ujar guru olah raga ini.
Aku sudah tahu arah pembicaraan Pak Hidayat. Dia pasti mempermasalahkan kebijakan kepala sekolah. Aku sudah mendengar sebelumnya dari Pak Suharto. Dan aku tak mau terjebak dalam perbincangan ini sebab aku hanya ingin mengajar dan mendidik muridku.
Memang, kadang kami sebagai guru tidak turut diajak memutuskan kebijakan yang menyangkut keuangan. Kami para guru, khususnya aku, tidak terlalu pusing dengan hal itu. Tapi khan mestinya, ini dibicarakan dengan komite sekolah. Komite sekolah harus mengundang orang tua. Lalu sekolah membeberkan program sekolah. Butuh dana berapa, sudah dapat sumber dana dari mana, lalu kekurangannya ditanggung orang tua. Rapat komite sekolah bersama orang tua wali muridlah yang memutuskan besar tarikan uang insidental, uang gedung, atau apalah namanya.
Tapi, ya itulah. Kenyataannya, sering aturan baku itu diterabas. Alasannya, kita khan menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah ini ya bebas tidak usah ikut aturan dari luar. Kita harus berkreasi bagaimana caranya agar kita dapat meningkatkan partisipasi orang tua. Salah satunya adalah partisipasi dalam hal dana.
Itulah argumentasi yang sering dipakai. Aku sudah sering mendengar itu. Aku dulu sempat melawan sistem seperti itu. Dalam suatu rapat dinas aku bicara keras. Prinsipnya, aku tak mau sekolah terlalu serakah. Kasihan anak-anak. Aku tahu, anak-anak itu banyak yang nunggak uang sekolah bulanan. Lalu mereka harus menanggung cicilan uang gedung?
Terus terang dalam hal nasib anak-anak didikku, aku gampang berempati. Pernah suatu hari aku melihat muridku tertidur di kelas. Kubiarkan hampir satu jam pelajaran, dia masih tertidur. Lalu kubangunkan. Matanya merah.
“Tolong cuci muka ke kamar mandi dulu, ya!” perintahku.
Saat kembali dari kamar mandi, matanya masih merah. “Maaf, Pak!” katanya singkat.
“Memangnya kamu begadang tadi malam?” tanyaku yang disambut tawa oleh teman-temanya satu kelas.
“Tadi malam, saya kerja membantu orang tua, Pak! Bapaku bilang, aku harus bekerja keras agar aku bisa menyelesaikan sekolah. Kami baru mendapat tagihan uang gedung yang sama sekali belum pernah kami cicil.”
“Kerja apa?” tanyaku penuh selidik.
“Menambang pasir, Pak.”
Aku tidak berkata-kata lagi. Kupersilakan dia duduk kembali.Aku bisa melihat betapa beratnya perjuangan anak itu. Tubuh anak itu memang kekar, tapi terlihat hitam legam dan matanya merah.
Dalam perjalanan pulang mengajar, kuhampiri para penambang pasir di Kali Brantas. Ada sebuah perahu dengan beberapa orang di atasnya. Mereka bergantian menyelam ke dasar sungai dengan sebuah timba di tangannya. Selang beberapa menit kemudian, orang yang menyelam itu sudah memanggul timba berisi pasir.
Aku tercenung. Betapa beratnya kerja mereka. Aku lalu membayangkan, salah satu orang yang ikut menyelam dan memanggul pasir itu adalah Senoaji, muridku. Dan itu dilakukan pada malam hari, saat seharusnya dia ada di rumah untuk belajar. Wahai para guru! Wahai para kepala sekolah! Tahukah Anda bahwa tidak semua anak bisa bersekolah dengan begitu mudah?
Terus terang, sejak itu aku menjadi sangat peka terhadap tarikan uang kepada siswa. Bahkan, aku tak lagi berani memaksa mereka membeli buku pelajaran seharga lima ribu, sekalipun. Kalau memang ada yang beli silakan, tapi aku tidak mewajibkan. Aku tidak mau menambah beban mereka.
Sekolah kami ini sekolah SMK, tepatnya sekolah teknik. Sebagian besar mereka yang bersekolah di sini memang untuk bisa segera bekerja usai lulus. Cita-cita mereka sangat sederhana. Seperti Senoaji, katanya ia ingin bisa bekerja di bengkel mobil. Lalu Hari Subekti. “Saya ingin membuka bengkel las di depan rumah, Pak” katanya.
***
“Wah, gawat, Pak Parno. Makin gawat!” kata Pak Hidayat lagi di hari lain. “Sekolah ini sudah mendapat banyak kucuran dana dari pusat. Kita ini sebenarnya mendapat banyak proyek besar. Nilainya ratusan juta. Jadi mestinya tidak perlu kita memberatkan orang tua siswa. Mereka itu kebanyakan dari golongan ekonomi lemah.”
Aku sudah tahu arah pembicaraan Pak Hidayat. Dan aku tidak mau terbakar karenanya. Aku hanya mendengarkan dengan penuh seksama, dan bilang pendek, “O, iya?”
“Ini tidak bisa dibiarkan Pak Parno. Kita harus bergerak. Kita sebagai guru harus berani. Ini jaman demokrasi, jaman transparansi. Mestinya semua masalah keuangan di sekolah itu dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga sekolah, setidaknya kepada dewan guru. Kita tidak bisa didiamkan saja. Kita tidak boleh dianggap orang bodoh yang hanya mengajar di kelas tanpa boleh tahu masalah keuangan sekolah. Bagaimana kalau dana-dana itu sebenarnya dikorupsi?”
Aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya manggut-manggut. Kadang-kadang, aku terbawa juga pada arus pembicaraaan Pak Hidayat. Tapi segera kucegah. Aku ini guru, tugasku mendidik anak-anak. Membantu anak-anak mencapai cita-citanya, memangkitkan semangatnya saat mereka berputus asa. Aku tidak mau tahu dengan urusan manajemen sekolah. Itu bukan tanggung jawabku.
“Pak Parno jangan diam saja. Ingat, Pak Parno ini mantan aktivis. Dulu saat mahasiswa kan aktif di senat. Mimpin demo terhadap rektorat. Mana kekritisan Pak Parno sekarang?”
Tiba-tiba emosiku terbakar. Tapi segera aku padamkan. Ya. Aku memang mantan aktivis. Itu dulu. Aku pernah memimpin demo menghadapi rektorat yang kami nilai korup. Aku sempat diskors bersama tiga temanku: Banji, Sarwo, dan Wirdan. Kami lalu diseret ke meja hijau dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Tapi berkat kekompakan teman-teman senat, justru di persidangan situasi terbalik. Kami justru bebas, sedangkan rektor yang justru terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rektor itu akhirnya dipecat dan mendekam di penjara.
Ingat masa lalu kadang aku tertawa sendiri. Kadang aku tak percaya kalau aku bisa menjalani itu semua. Ah, tapi itu dulu. Sekarang aku seorang guru. Bukan masalah gurunya yang aku maksud. Tapi aku tidak sesehat dulu. Aku menderita penyakit jantung. Aku ingin tenang bekerja. Aku hanya ingin mengajar dan mendidik murid-muridku. Tidak mau berada dalam situasi konflik yang melelahkan. Aku ingin damai bersama murid-muriku. Berbicara dari hati ke hati. Berbicara tentang kejujuran, tentang keadilan, tentang demokrasi, sambil berharap suatu saat mereka akan bisa mengimplementasikan nilai-nilai yang kuajarkan di masyarakat.
Hanya itu yang ingin aku lakukan. Aku tidak mau terbakar oleh Pak Hidayat. Aku tidak boleh terjebak dalam suasana hiruk-pikuk yang melelahkan. Biarlah semua terjadi kalau memang harus terjadi.
“Gimana, Pak Parno? Apakah Bapak ikut bergerak bersama kami?” desak Pak Hidayat lagi.
“Maaf saya mau mengajar,” tukasku singkat sambil beranjak ke ruang kelas.
***
Hari ini Sabtu. Aku tidak ada jam mengajar. Waktu kosong seperti ini selalu kuisi dengan membaca. Kadang novel kadang buku-buku psikologi remaja. Usai sholat maghrib saat menemani anak-anakku menonton kartun di TV, tiba-tiba ada berita sekilas. “Hari ini terjadi demo besar-besaran di SMK Harapan Kita. Demo itu menuntut kepala sekolah Drs. Haji Abdul Malik, M.Pd dicopot dari jabatannya terkait kasus korupsi dana proyek pembangunan sekolah senilai empat ratus juta rupiah.”
Aku tertegun. Di layar kaca, aku lihat wajah-wajah kukenal sedang meneriakkan yel-yel. Ada Pak Hidayat, Pak Ismail, Pak Suharto, dan lain-lain. Ada pula kulihat Senoaji, Hari Subekti, Andika Teguh, dan banyak lagi. Itu murid-muridku.
Aku masih tertegun. Aku tidak menyalahkan mereka, tapi aku tidak akan ikut mereka. Aku sudah berjanji pada istriku, aku ini guru. Tugasku mengajar dan memberikan pendidikan kepada murid-muridku. Itu sudah cukup. Dan, tentu saja, mendidik anak-anakku sendiri, Putri dan Indri, hingga dewasa dan mandiri.
“Yah, obatnya diminum!” kata istriku dari dapur. Putri, anakku terbesar yang sudah kelas nol besar segera beranjak ke dapur. Biasa, dia mengambilkanku segelas air dan kotak kerdus berisi obat-obatanku.
“Ini obatnya, ayah!” kata Putri.
“Terima kasih,” kataku sambil mencium kening anak manis itu.
Aku lalu meneruskan menonton kartun Tom and Jerry kesukaan anak-anakku. Seperti tidak terjadi apa-apa



sumber : http://pendidikanyangdemokratis.blogspot.com/2007/06/sekolah-dalam-sebuah-cerpen-potret.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar